Zinesport
Add Post Menu

Terbaru di Zinesport

Zine Sport Zine Sport
1 minggu yang lalu

Titik banjir bandang terparah di Sumatera per 30 November 2025 adalah Sibolga (Sumatera Utara) dengan gelombang banjir setinggi 10 meter hanyut ribuan gelondongan kayu dari Sungai Batang Toru, Karo (Sumut) longsor Gunung Sinabung lumpuhkan 5 kecamatan, Nagari Malalak Baru-Baru (Sumatera Barat) tsunami lumpur dari Gunung Singgalang rusak 2.000 rumah, serta Aceh Tengah (Takengon) jalan provinsi putus 250 meter dan 500 warga terisolasi.

Dampak terberat: Sibolga 68 korban jiwa, Karo 52 meninggal, Sumbar 41 tewas; BNPB sebut 12 kabupaten/kota lumpuh total akibat curah hujan 400 mm/hari plus pembangunan liar.​​

Zine Sport Zine Sport
1 minggu yang lalu

Kerugian Banjir Sumatera Capai Rp 5,2 Triliun! BNPB Ungkap Detail Kerusakan

BNPB laporkan kerugian material akibat banjir bandang dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, serta Aceh per 30 November 2025 mencapai Rp 5,2 triliun, termasuk 18.000 rumah rusak/porak-poranda, 120 sekolah hancur, 45 puskesmas lumpuh, 300 jembatan putus, 1.200 km jalan rusak, 15.000 ha sawah gagal panen, serta infrastruktur listrik dan air bersih terganggu di 12 kabupaten/kota.

Korban jiwa 174 meninggal, 79 hilang, 3.800 KK mengungsi; kerugian ekonomi sektor pertanian Rp 1,8 triliun, infrastruktur Rp 2,9 triliun, dan fasilitas umum Rp 500 miliar, dipicu curah hujan ekstrem plus illegal logging dan alih fungsi lahan.

Zine Sport Zine Sport
1 minggu yang lalu

Banjir bandang dan longsor melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh sejak akhir November 2025, akibat curah hujan ekstrem melebihi 300 mm/hari ditambah kerusakan lingkungan seperti alih fungsi lahan dan dugaan illegal logging.

Hingga 29 November 2025, BNPB catat 174 orang meninggal, 79 hilang, ribuan rumah rusak, 3.800 KK mengungsi, jalan provinsi terputus 250 meter di Aceh, jembatan hancur, dan warga terisolasi di Tapanuli serta Sibolga.

Video viral menunjukan gelondongan kayu ribuan hanyut di Sungai Batang Toru, evakuasi darurat di Nagari Malalak Sumbar, dan longsor dari Gunung Singgalang; pakar ITB sebut pembangunan buta ekologi jadi biang kerok, bukan murni bencana alam.

santo projo (ARC) santo projo (ARC)
2 minggu yang lalu

Gunung itu bernama Tambora. Gunung berapi aktif dengan kaldera terbesar di Indonesia. Tingginya pernah mencapai sekitar 4.300 meter sebelum runtuh menjadi 2.722 meter setelah letusan.

Di Eropa Barat, hujan es merusak ladang yang baru tumbuh. Gandum gagal matang. Ternak mati karena dingin berbulan-bulan.

Di Nusantara, dampaknya lebih langsung. Sumbawa, Lombok, dan sebagian Bali mengalami kelaparan panjang. Sawah tertutup abu.

Letusan itu merusak cuaca dunia—panen gagal, kelaparan, revolusi iklim.

Gunung itu bernama Tambora. Gunung berapi aktif dengan kaldera terbesar di Indonesia. Tingginya pernah mencapai sekitar 4.300 meter sebelum runtuh menjadi 2.722 meter setelah letusan.

10 April 1815. Di Sumbawa, gunung itu meledak seperti mesin geologi yang kehilangan kendali. Suaranya terdengar hingga ribuan kilometer. Dalam dua hari, lebih dari 150 kilometer kubik material terlempar ke langit—cukup untuk membuat matahari meredup dan udara berubah seperti tersaring debu halus.

Gunung itu bernama Tambora. Gunung berapi aktif dengan kaldera terbesar di Indonesia. Tingginya pernah mencapai sekitar 4.300 meter sebelum runtuh menjadi 2.722 meter setelah letusan. Struktur puncaknya hilang bersama ratusan kilometer kubik magma yang terbuang.

Abu sulfat naik ke stratosfer, memasuki lapisan angin global yang menyebarkan aerosol ke seluruh bumi. Partikel-partikel ini memantulkan cahaya matahari dan menurunkan suhu rata-rata hampir satu derajat Celsius—cukup untuk mengganggu pola musim dan waktu tanam di banyak wilayah.

Pada 1816, musim panas tidak berjalan normal. Di Amerika Utara, salju turun di bulan Juni. Di Eropa Barat, hujan es merusak ladang yang baru tumbuh. Gandum gagal matang. Ternak mati karena dingin berbulan-bulan. Surat kabar Boston menulis tentang “hari-hari tanpa kehangatan,” sementara kota-kota Eropa menghadapi kenaikan harga roti dan kerusuhan pangan.

Di Swiss, cuaca basah dan gelap membuat banyak orang menetap di dalam ruangan selama berminggu-minggu. Dalam kondisi itu, Mary Shelley menulis Frankenstein—sebuah karya yang lahir ketika dunia kehilangan kestabilan musimnya.

Di Nusantara, dampaknya lebih langsung. Sumbawa, Lombok, dan sebagian Bali mengalami kelaparan panjang. Sawah tertutup abu. Air sungai bercampur pasir vulkanik. Penyakit menyebar saat persediaan makanan habis. Catatan abad ke-19 menggambarkan desa yang hilang dan populasi yang menyusut drastis.

Tahun 1816 dicatat sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas,” dipicu oleh satu letusan vulkanik di satu pulau kecil yang mengubah suhu, angin, dan musim di banyak wilayah dunia.

“Letusan yang merusak cuaca dunia—panen gagal, kelaparan, revolusi iklim.”

Di Eropa Barat, hujan es merusak ladang yang baru tumbuh. Gandum gagal matang. Ternak mati karena dingin berbulan-bulan.

 

Di Nusantara, dampaknya lebih langsung. Sumbawa, Lombok, dan sebagian Bali mengalami kelaparan panjang. Sawah tertutup abu.

 

Letusan itu merusak cuaca dunia—panen gagal, kelaparan, revolusi iklim.

 

Kang Sablon Kang Sablon
2 minggu yang lalu

Suatu pagi di Siberia, 30 Juni 1908, ketenangan hutan itu pecah dalam satu ledakan yang tercatat sebagai peristiwa Tunguska.

Beberapa detik setelahnya, angin panas menghantam permukiman kecil di dekat sungai Podkamennaya Tunguska.

Hutan seluas kota besar tersapu rata, gelombang kejutnya terukur hingga ribuan kilometer, dan tidak ada kawah yang menjelaskan pusat peristiwa.

Suatu pagi di Siberia, 30 Juni 1908, ketenangan hutan itu pecah dalam satu ledakan yang tercatat sebagai peristiwa Tunguska.

Suatu pagi di Siberia, 30 Juni 1908, ketenangan hutan itu pecah dalam satu ledakan yang tercatat sebagai peristiwa Tunguska.

Saksi mata melaporkan kilatan cahaya biru-putih melintas dari tenggara, diikuti dentuman tunggal yang terasa hingga ratusan kilometer. Instrumen cuaca mencatat gelombang tekanan atmosfer yang tidak biasa. Beberapa detik setelahnya, angin panas menghantam permukiman kecil di dekat sungai Podkamennaya Tunguska.

Ketika tim ekspedisi Leonid Kulik (Akademi Sains Rusia) tiba pada 1927, mereka mendapati sekitar 2.000 km² hutan roboh dalam pola radial. Pohon-pohon tercabut dan rata mengarah keluar dari satu pusat yang tidak meninggalkan kawah. Tidak ditemukan fragmen meteorit pada lokasi inti.

Analisis modern oleh lembaga seperti NASA’s Planetary Defense Coordination Office serta riset Mark Boslough (Sandia National Laboratories) menunjukkan dugaan kuat bahwa objek berdiameter 50–60 meter—kemungkinan asteroid tipe fragmen atau meteoroid rapuh—meledak di udara pada ketinggian 5–10 km. Energinya diperkirakan 10–15 megaton TNT, setara ratusan kali Hiroshima.

Skalanya sulit diabaikan: hutan seluas kota besar tersapu rata, gelombang kejutnya terukur hingga ribuan kilometer, dan tidak ada kawah yang menjelaskan pusat peristiwa. Kombinasi ini menjadikannya salah satu ledakan atmosfer paling kuat dalam catatan modern—jenis kejadian yang dapat berulang, karena objek dengan ukuran serupa masih rutin melintasi orbit dekat Bumi.

Beberapa detik setelahnya, angin panas menghantam permukiman kecil di dekat sungai Podkamennaya Tunguska.

 

Hutan seluas kota besar tersapu rata, gelombang kejutnya terukur hingga ribuan kilometer, dan tidak ada kawah yang menjelaskan pusat peristiwa.

 

santo projo (ARC) santo projo (ARC)
2 minggu yang lalu

Kapal itu dipromosikan sebagai “tidak bisa tenggelam”—namun justru tenggelam pada malam pertamanya menantang samudra

Ketika tabrakan itu terjadi, denting logamnya bahkan tak sebanding dengan apa yang terjadi di bawah permukaan

Suhu air di sekelilingnya hanya sekitar –2°C, cukup untuk melumpuhkan tubuh manusia dalam hitungan menit. Jeritan tak bertahan lama; malam kembali sunyi.

Kapal itu dipromosikan sebagai “tidak bisa tenggelam”—namun justru tenggelam pada malam pertamanya menantang samudra

Tahukah kamu, pernah ada sebuah kapal yang dipromosikan sebagai “tidak bisa tenggelam”—namun justru tenggelam pada malam pertamanya menantang samudra. Tragedinya bukan sekadar kecelakaan laut, tetapi malam ketika teknologi, kepercayaan diri manusia, dan dinginnya Atlantik bertabrakan tanpa ampun.

Malam 14 April 1912, Atlantik Utara berada pada suhu yang menghukum. Titanic melaju, mesin stabil, cahaya lampu memanjang di permukaan laut yang tampak terlalu tenang. Di kejauhan, gunung es bergerak perlahan—tanpa suara, tanpa peringatan nyata. Ketika tabrakan itu terjadi, denting logamnya bahkan tak sebanding dengan apa yang terjadi di bawah permukaan: lambung kapal tersayat memanjang, kompartemen bocor satu per satu. Kapal itu kehilangan takdirnya.

Air es masuk seperti hembusan maut. Geladak yang tadinya hangat berubah menjadi kepanikan terbuka. Sekoci tak cukup. Lampu-lampu mulai padam, satu per satu, sementara ribuan penumpang berdiri di antara dingin yang menggigit dan malam yang mulai menutup mereka.

Informasi teknisnya tidak pernah dibantah: menurut British Board of Trade Inquiry (1912) dan kajian ulang dari American National Archives, Titanic tenggelam setelah kompartemen kedap air pertamanya terisi melebihi batas. Selain itu, penelitian Dr. Robert Ballard (WHOI) menunjukkan bahwa patahan kapal dipicu oleh beban struktural berlebih ketika haluan sudah terperosok ke dalam laut. Data tersebut menegaskan bahwa Titanic tenggelam bukan karena satu kesalahan—tetapi rangkaian kegagalan yang saling menguatkan.

Pada dini hari 15 April, kapal “tak bisa tenggelam” itu akhirnya menghilang di bawah permukaan Atlantik. Cahaya terakhirnya padam sekitar 02.20. Suhu air di sekelilingnya hanya sekitar –2°C, cukup untuk melumpuhkan tubuh manusia dalam hitungan menit. Jeritan tak bertahan lama; malam kembali sunyi.

Dan sejak itu, Titanic tidak pernah benar-benar tenggelam dari ingatan manusia—karena malam itu, teknologi modern kalah oleh dingin, kesombongan, dan keheningan laut.

Ketika tabrakan itu terjadi, denting logamnya bahkan tak sebanding dengan apa yang terjadi di bawah permukaan

 

Suhu air di sekelilingnya hanya sekitar –2°C, cukup untuk melumpuhkan tubuh manusia dalam hitungan menit. Jeritan tak bertahan lama; malam kembali sunyi.

 

Kang Sablon Kang Sablon
2 minggu yang lalu

Akhir Agustus 1883, sebuah pulau kecil di Selat Sunda mulai berdenyut seperti mesin pemompa vulkanik raksasa. Tekanan bumi naik ke permukaan, menembus tubuh gunung itu, mendorong kolom abu yang menembus langit tropis.

Dentuman itu tetap menjadi pengingat: satu gunung saja bisa mengubah wajah langit seluruh planet.

Akhir Agustus 1883, sebuah pulau kecil di Selat Sunda mulai berdenyut seperti mesin pemompa vulkanik raksasa. Tekanan bumi naik ke permukaan, menembus tubuh gunung itu, mendorong kolom abu yang menembus langit tropis.

Tahukah kamu, Bumi pernah benar-benar diselimuti abu vulkanik—begitu pekat hingga cahaya matahari redup berhari-hari? Bukan satu malam, bukan dua, tapi berminggu-minggu atmosfer dunia berubah menjadi tirai gelap akibat satu ledakan gunung saja.

Akhir Agustus 1883, sebuah pulau kecil di Selat Sunda mulai berdenyut seperti mesin pemompa vulkanik raksasa. Tekanan bumi naik ke permukaan, menembus tubuh gunung itu, mendorong kolom abu yang menembus langit tropis. Namanya Krakatau—gunung yang tidak sekadar meletus. Ia pecah.

Pada 27 Agustus, dentuman terbesarnya terjadi. Gelombang udaranya bergerak seperti dinding tak terlihat, memecahkan jendela hingga jarak ratusan kilometer. Instrumen cuaca di berbagai belahan dunia merekam lonjakan tekanan udara yang berulang, seolah planet ini ikut menahan napas. Suara letusannya menjalar ribuan kilometer, menjadi salah satu suara paling keras yang pernah tercatat dalam sejarah geologi.

Krakatau runtuh ke dalam dirinya sendiri. Pulau itu patah, meninggalkan cekungan besar yang memaksa laut bangkit dalam bentuk tsunami. Pesisir Jawa–Sumatra tersapu dalam hitungan menit. Ribuan orang hilang sebelum sempat memahami apa yang sedang menghampiri mereka—gelombang yang lahir dari kehancuran sebuah pulau.

Menurut ahli geologi Simon Winchester, daya ledak Krakatau diperkirakan setara 30.000 kali bom atom Hiroshima–Nagasaki. Ahli vulkanologi ITB, Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, mencatat bahwa rangkaian letusan dimulai pada 26 Agustus dan mencapai puncak destruktifnya pada 27 Agustus, dengan kekuatan VEI 6, satu tingkat di bawah kategori letusan super.

Setelah itu, langit dunia berubah. Matahari memudar. Senja di negara-negara Eropa ikut berubah warna, direkam para pelukis sebagai cahaya merah darah yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Partikel abu Krakatau naik ke atmosfer atas, menumpang angin global, dan mengubah warna langit dunia selama berminggu-minggu.

Dentuman itu tetap menjadi pengingat: satu gunung saja bisa mengubah wajah langit seluruh planet.

Dentuman itu tetap menjadi pengingat: satu gunung saja bisa mengubah wajah langit seluruh planet.

 

santo projo (ARC) santo projo (ARC)
2 minggu yang lalu

Orang-orang menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya. Tidak ada kegelisahan, tidak ada tanda bahaya. Hingga perut bumi mulai berkelakar.

Gunung Vesuvius meledak, Ini bukan letusan gunung biasa. Vesuvius adalah salah satu aktor erupsi paling mematikan dalam sejarah. Dalam hitungan menit, ia ubah langit menjadi selimut gelap.

Gelombang panas datang Lebih cepat dari angin ribut. Warga tak punya kesempatan berlari dan bersembunyi. Ribuan tubuh membeku dalam posisi terakhirnya.

Erupsi Vesuvius tidak hanya menghancurkan sebuah kota. Ia mengabadikan detik-detik terakhirnya. Dengan cara yang tidak pernah diinginkan siapa pun.

Orang-orang menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya. Tidak ada kegelisahan, tidak ada tanda bahaya. Hingga perut bumi mulai berkelakar.

Kota Pompeii.

Sebuah kota yang tenang, kala itu. Orang-orang menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya. Tidak ada kegelisahan, tidak ada tanda bahaya.

Hingga perut bumi mulai berkelakar.

Gunung Vesuvius meledak, Ini bukan letusan gunung biasa. Vesuvius adalah salah satu aktor erupsi paling mematikan dalam sejarah. Dalam hitungan menit, ia ubah langit menjadi selimut gelap.
24 Agustus 79 M.
Gunung Vesuvius meledak, meluapkan apa yang ia simpan selama berabad-abad.

Ini bukan letusan gunung biasa.

Vesuvius adalah salah satu aktor erupsi paling mematikan dalam sejarah.

Dalam hitungan menit, ia ubah langit menjadi selimut gelap.

Batu apung turun tak henti, menghantam kota bak serbuan meriam dari langit.

Pompeii hanya bisa pasrah pada waktu.

Gelombang panas datang Lebih cepat dari angin ribut. Warga tak punya kesempatan berlari dan bersembunyi. Ribuan tubuh membeku dalam posisi terakhirnya.

Tak lama setelah hujan batu berhenti, gelombang panas datang.

Lebih cepat dari angin ribut. Lebih panas dari apa pun yang bisa dibayangkan manusia. Jalan-jalan disapu bersih. Rumah-rumah runtuh.

Warga tak punya kesempatan untuk berlari, apalagi bersembunyi.

Tubuh-tubuh membeku dalam posisi terakhir mereka.

Ada yang sedang berdoa.

Ada yang memeluk keluarga.

Ada yang tertidur, tidak sadar bahwa itu adalah napas terakhirnya.

Erupsi Vesuvius tidak hanya menghancurkan sebuah kota. Ia mengabadikan detik-detik terakhirnya. Dengan cara yang tidak pernah diinginkan siapa pun.

Pompeii hilang dalam satu hari.

Dan selama hampir dua ribu tahun, kota itu terkunci di bawah abu— utuh, membisu, menunggu ditemukan.

Saat arkeolog membuka kembali kota ini, mereka seakan menemukan waktu yang berhenti.

Meja makan yang belum dibersihkan.

Lukisan dinding yang masih melekat.

Dan manusia-manusia terakhir Pompeii… masih berada di tempat mereka jatuh.

Erupsi Vesuvius tidak hanya menghancurkan sebuah kota.

Ia mengabadikan detik-detik terakhirnya.

Dengan cara yang tidak pernah diinginkan siapa pun.

Kang Sablon Kang Sablon
2 minggu yang lalu

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto terkejut mengetahui ada mahasiswa yang mampu bertahan hidup dengan pengeluaran hanya Rp400.000 per bulan. Hal itu disampaikannya saat membuka Konferensi Puncak Pendidikan Tinggi Indonesia (KPPTI) 2025 di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Rabu (19/11).

Dalam sambutannya, Brian menuturkan pengalamannya sarapan di kantin Unesa sebelum acara dimulai. Ia mengobrol dengan sejumlah mahasiswa dan menanyakan biaya hidup mereka. “Saya tanya, ‘Dek, satu bulan berapa?’ Ada yang jawab Rp600.000, bahkan ada yang Rp400.000,” ujarnya, dikutip dari kanal YouTube Kece Media by Unesa.

Brian menyebut angka tersebut sangat mencengangkan. “Rp400.000 sebulan, bapak ibu sekalian. Kita sekali makan mungkin Rp100 ribu. Ini sama dengan empat kali makan,” katanya.

Ia menilai mahasiswa yang mampu bertahan dengan anggaran sekecil itu memiliki ketekunan dan daya juang tinggi. “Saya yakin dari mereka-mereka inilah muncul orang-orang bertekad besar dan bersemangat tinggi. Mereka yang akan menentukan masa depan,” puji pakar fisika nanoteknologi tersebut.

Kang Sablon Kang Sablon
2 minggu yang lalu

Inovasi energi baru terbarukan (EBT) Indonesia kembali mencuri perhatian dengan hadirnya Bobibos (Bahan Bakar Original Buatan Indonesia, Bos!). Bahan bakar nabati ini resmi diperkenalkan di Jonggol, Bogor, pada November 2025.

Bobibos dikembangkan oleh M. Ikhlas Thamrin bersama timnya sebagai solusi transisi energi tanpa harus mengganti kendaraan berbahan bakar fosil. “Kami mencari bahan bakar yang murah, beremisi rendah, tidak abal-abal, dan aman digunakan tanpa modifikasi,” ujar Thamrin saat peluncuran.

Hasil uji coba menunjukkan performa Bobibos cukup menjanjikan. Emisinya diklaim hampir nol, jarak tempuh kendaraan—termasuk Toyota Fortuner—meningkat dari 1:10 km menjadi 1:14 km, dan kualitasnya disebut setara bahkan melampaui RON 98 Pertamina Turbo.

Harga resmi belum diumumkan, namun Bobibos diperkirakan hanya sepertiga dari harga BBM sekelasnya. Dengan harga Pertamax Turbo (RON 98) saat ini di angka Rp13.100 per liter, Bobibos diproyeksikan berada di kisaran Rp4.300 per liter.

Bobibos memanfaatkan bahan baku tanaman lokal yang dibudidayakan di area persawahan, menjadikannya alternatif energi yang lebih ramah lingkungan sekaligus mendukung kemandirian energi nasional.

Bagaimana menurut kalian?